Friday, April 17, 2015

STANDAR GANDA: Ambiguitas yang Dilumrahi

Sudah lama saya tidak menulis. Sebetulnya, banyak orang meminta saya menulis justru bergenre fiksi. Mereka memotivasi saya untuk menyelesaikan cerpen-cerpen setengah jadi. Tetapi, maaf saja, cerpen itu belum rampung juga. Sekarang, saya justru menjadi sangat termotivasi untuk membuat tulisan opini. Jemari saya jadi gatal pasca terbitnya Permendag No.6 Tahun 2015 ini.

Kita akan mulai dengan yang sangat amat ada dimana-mana: junk food. Familiar dong?


Tentu anda sudah sering mendengar bahayanya junk food. Dari banyak artikel mengenai bahaya junk food yang saya baca, saya akan sampaikan sebagian yang patut dipertimbangkan sebagai ancaman bagi kehidupan anda. Yang pertama, junk food meningkatkan resiko kemandulan pada perempuan, saya ambil dari artikel berjudul "Bahaya Makan Junk Food Bagi Kesuburan Wanita". Di dalam artikel tersebut, terdapat contoh kasus seorang perempuan yang kecanduan junk food, kemudian mengalami kenaikan berat badan hingga dua kali lipat dan berhenti menstruasi pada usia 20 tahun, lalu divonis tidak dapat hamil. Tentu saja, kejadian ini bukan kebetulan belaka. Ada banyak kasus lain dengan kronologi serupa.

Yang kedua, junk food meningkatkan resiko gangguan jantung dan diabetes karena tingkat kandungan karbohidrat (berimplikasi pada kalori) yang sangat tinggi, saya ambil dari artikel berjudul "The Effects of Fast Foods On The Body". Di dalam artikel tersebut, pertama-tama dijelaskan bagaimana tubuh mencerna makanan. Pankreas akan merespon karbohidrat yang telah diubah menjadi glukosa dengan memproduksi insulin. Setelah gula terabsorbsi, kadar gula dalam darah turun. Dalam kondisi ini, glikogen diproduksi tubuh sebagai cadangan energi yang sebagian besar disimpan di hati. Siklus ini akan baik-baik saja apabila kadar karbohidrat yang dicerna berada dalam kadar normal. Akan tetapi, berbeda halnya dengan junk food yang mengandung kadar karbohidrat sangat tinggi. Menurut American Heart Association, sebagian besar orang Amerika (penggemar junk food) mengkonsumsi karbohidrat dengan kadar dua kali lipat lebih dari batas normal. Hal ini meningkatkan resiko diabetes dan gangguan jantung.

Yang ketiga, junk food menjadi faktor terbesar orang mengalami obesitas, yang mana merujuk kepada artikel berjudul "Junk Food: Just As Bad As Cigarettes", dikatakan lebih mengancam kesehatan daripada rokok. Dr.Schutter menyampaikan hal ini dalam pidato pembukaan World Health Organization's Annual Summit 2014. Dalam penelitiannya yang mengambil sampel 60.000 orang Kanada, ditemukan bahwa orang dengan obesitas lebih banyak melakukan kunjungan dokter dibandingkan orang yang merokok. Di dalam artikel tersebut dijelaskan berbagai macam penyakit yang berkemungkinan besar muncul akibat obesitas, termasuk diabetes, osteoarthritis, hernia, stroke, liver, depresi, pembengkakan jantung, dan lain-lain. As an additional fact, ini ada berita pria berusia 22 tahun meninggal akibat obesitas di Dailymail UK.

Yang terakhir, junk food berperan penting dalam merusak otak dan mendegradasi memori atau ingatan, saya ambil dari artikel berjudul "Junk Food Linked to Memory Loss in NSW Study on Rats". Penelitian dilakukan dengan membandingkan tikus A (yang mengkonsumsi makanan berkadar gula tinggi) dengan tikus B (yang mengkonsumsi makanan sehat). Temuan pertama dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari University of New South Wales tersebut adalah adanya penurunan kemampuan kognitif pada tikus A. Uji coba kognitif spasial dilakukan hanya dalam waktu enam hari setelah percobaan dimulai, sementara tingkat penurunan kognitifnya dinilai jauh lebih parah dari yang dibayangkan oleh para peneliti sebelum melakukan percobaan. Hal ini menjadi dasar untuk penjelasan mengenai bahaya junk food terhadap otak dan ingatan manusia.


Selanjutnya, kita akan bahas produk dengan iklan televisi yang kreatif dan kalau dikonsumsi pria kerap diasosiasikan dengan kejantanan, kalau dikonsumsi perempuan diasosiasikannya dengan kenakalan (standar ganda everywhere): rokok. Familiar juga dong?


Kalau anda sudah sering mendengar bahayanya junk food, berarti mendengar bahayanya rokok sudah sampai muntah-muntah ya. Maka, disini saya hanya akan ulas sedikit saja bahaya dari mengkonsumsi rokok. Yang pertama, kandungan nikotin dan karbonmonoksida (CO) pada rokok dapat mengakibatkan pembekuan darah dan pengerasan dinding arteri, saya ambil dari artikel berjudul "Bahaya Merokok". Penjelasan mekanisme pengerusakan pembuluh darah (pembekuan darah dan pengerasan dinding arteri) saya dapatkan di dalam artikel jurnal berjudul "Cardiovascular Toxicity of Nicotine: Implications for Nicotine Replacement Therapy". Penjelasan pertama, terjadi apa yang disebut dengan induction of hypercoagulable state, yang berarti meningkatnya tendensi pembekuan darah secara tidak normal yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya thrombopheblitis (gumpalan dalam pembuluh darah). Nikotin berperan menyumbat pembuluh darah yang berakibatkan koagulasi atau penggumpalan.

Penjelasan berikutnya, kandungan karbonmonoksida (CO) yang terlalu tinggi menganggu sirkulasi oksigen oleh darah. Di dalam artikel disebutkan bahwa perokok menghirup karbonmonoksida (CO) hingga >10% dibandingkan yang bukan perokok dengan presentase 0,5-2% saja. Terganggunya sirkulasi oksigen ini mengarah kepada atherogenesis yaitu penebalan dinding dalam arteri (oleh atheroma) dan berujung pada pengerasan dinding arteri. Yang kedua, masih dari artikel berjudul "Bahaya Merokok", kandungan tar pada rokok, yang merupakan bahan pembuat aspal, dapat membunuh jaringan dan sel hidup dalam paru-paru. Mekanisme tar merusak paru-paru dijelaskan dalam artikel berjudul "How Does Your Body Digest A Cigarette?". Tar menjadi zat yang menempel di dinding paru-paru, karena setiap kali seorang perokok menghisap asap rokok, hanya 30% tar yang keluar lagi ketika dihembuskan. Kemudian, 70% sisanya mengendap di dinding paru-paru dan menjadikan segala yang masuk ke paru-paru bercampur dengan tar. Lapisan tar itu juga yang membunuh sel-sel aktif dalam paru-paru.

Agaknya anda sudah bosan kalau saya lagi-lagi menyebutkan zat-zat bahaya lainnya yang terkandung dalam rokok. Maka, saya akan memberikan fakta bagaimana rokok begitu mematikan. Seperti yang dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2014, rokok menjadi penyebab kematian lebih dari 480.000 orang Amerika setiap tahun, yang setara dengan hampir seperlima dari seluruh kematian yang ada. Jumlah itu juga melebihi jumlah kematian yang disebabkan oleh infeksi HIV, penyalahgunaan obat-obatan, penggunaan alkohol, dan kecelakaan kendaraan bermotor diakumulasikan. Jumlah itu senilai sepuluh kali lebih banyak dari jumlah orang Amerika yang mati dalam semua perang yang tercatat dalam sejarah AS. 80% orang Amerika yang mengalami penyakit pernapasan akut (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah perokok. Dari seluruh jumlah kasus pria dan perempuan yang mengidap kanker paru-paru, 90% diantaranya disebabkan oleh rokok. Di sisi lain, jumlah kematian perempuan oleh kanker paru-paru setiap tahunnya selalu lebih banyak dari kematian oleh kanker payudara.

Dua produk yang telah saya jelaskan di atas adalah berbahaya dan mematikan. Mengancam bukan hanya generasi muda, tetapi semua generasi. Produk kedua, bahkan dinilai mengancam juga mereka yang tidak mengkonsumsinya namun berdekatan dengan mereka yang mengkonsumsinya pada aktivitas konsumsi berlangsung (penjelasannya dapat dibaca di artikel berjudul "Is Passive Smoking Harmful?"). Kedua produk tersebut dapat anda temukan di minimarket terdekat (khusus produk pertama, hanya di minimarket tertentu). Simpulan dari pemaparan saya yang singkat ini adalah adanya standar ganda (double-standard) yang terbawa sampai ke ranah hukum positif, dalam konteks ini yaitu Permendag No.6 Tahun 2015, sehingga memunculkan ambiguitas objektif dari aturan itu sendiri. Analisis ini muncul dari latar belakang pemberlakuannya yang disampaikan oleh pak Gobel di publik, merujuk Kompas 29 Januari 2015, yaitu untuk melindungi kesehatan dan keamanan konsumen.

Thursday, November 20, 2014

WHOEVER YOU ARE, THIS WRITTEN BELONGS TO YOU... Well, here is my answer!

Jujur detik ini tanganku bergetar,
mataku memanas,
tahu kan rasanya mengingat sebuah kenangan?
Saat ini, saat dimana aku menulis ini,
rasanya semua memori kembali,
sangat jelas ku ingat darimana semua ini berasal.

2001 adalah tahun yang penting dalam hidupku. Ada keluarga yang baru saja pindah dari Jepang dan menjadi tetangga baruku, tepat berhadapan dengan rumahku.

Keluarga itu terdiri atas sepasang suami isteri dan dua orang anak. Masing-masing bernama om Asep dan tante Lala, serta anaknya bernama Neam (kakak) dan Nena (adik). Mengapa kedatangan mereka menjadi penting?

Om Asep (pemain cello dan piano) dan tante Lala (pemain biola) adalah akademisi sekaligus performer musik, dimana om Asep saat itu sudah berpengalaman menjadi dosen musik di Jepang dan keduanya tentu sudah ratusan kali menjadi pengisi berbagai konser musik, dari yang privat sampai publik (yang ditayangkan di televisi). Kedua anak mereka pun belajar musik. Neam belajar piano (sekarang sudah kuliah dengan major cello di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta) dan Nena belajar biola (berhenti sejak dia menemukan passion lain, kurang ingat tahun berapa, dia menemukan dirinya lebih tertarik pada dunia animasi manga ketimbang musik). Aku bersahabat dekat dengan Neam dan Nena, namun tentu dalam perkembangannya lebih dekat dengan Neam yang persis seumur denganku.

Di rumahku, tidak ada alat musik, jangankan piano, pianika saja tidak ada. Siapa yang mau memainkannya? Sekeluargaku tidak ada yang dapat bermain alat musik. Neam tekun berlatih piano setiap pukul 19.00 malam setelah shalat Maghrib (hidupnya sangat teratur, pagi sampai siang sekolah, sore bermain denganku dan Nena, tepat saat Maghrib kami pulang ke rumah masing-masing, lalu Neam dan Nena akan shalat dan berlatih musik), setiap hari aku dengar bunyi itu... (terbayang kan?) denting piano. Setahun kemudian, aku meminta Neam mengajariku cara memainkannya, dia lah guru piano pertamaku. Lagu pertama yang diajarkannya adalah "Sonatina No.1, Fr.Kuhlau". Kala itu, aku belum bisa membaca not balok, jadi mengingat saja letak-letak tutsnya yang harus ditekan dan tempo lagunya. Selanjutnya, aku pun turut berlatih bersama Neam setiap hari. Ya, setiap pukul 19.00 malam.

Semakin lama semakin sulit untuk kita rutin bertemu, jelas karena dunia akademik yang semakin lama semakin menyita waktu, pikiran, dan tenaga. Tahun 2005, aku mendapatkan sponsor belajar keyboard di Cinere Musik (guruku bernama kak Gya). Aku pun mengiyakannya. Tidak lama belajar keyboard, aku mulai autodidak belajar memainkan electone atau organ agar dapat mengiringi misa atau perayaan Ekaristi (sebutan ibadah bagi umat Katolik) di gereja (karena di Katolik, ibadahnya pasti menggunakan organ, bukan piano atau keyboard, kecuali yang diadakan di luar gereja). Tahun 2006, aku mengiringi paduan suara dalam misa untuk pertama kalinya. Di tahun yang sama, aku menciptakan lagu pertamaku dan selanjutnya terus mencipta lagu sampai lagu terakhir aku ciptakan pada tahun 2012 lalu.

2008, aku dipercaya oleh pembimbing paduan suara di SMP Negeri 85 Jakarta untuk melatih dan mengaransemen untuk tim Vocal Group yang mewakili sekolah di ajang Kompetisi Vocal Group tingkat Jakarta Selatan. Di tingkat kotamadya, kami mendapat juara 2, kemudian bertanding lagi di tingkat provinsi DKI Jakarta dan meraih juara 3. Tidak hanya itu, aku juga dipercaya untuk melatih paduan suara sekolah dan banyak memenangkan berbagai perlombaan paduan suara. Di luar sekolah, aku pun banyak mendapatkan inspirasi dari salah seorang umat di gerejaku yang bernama Michael Edward Bimo A. B. (Akrab ku sapa "kak Bims"). Perkembangan musikku terbilang pesat selama mendapat banyak bimbingan dan masukan dari kak Bims (termasuk tambahan pengalaman mengisi berbagai job bersama dia dan paduan suara atau singers yang dia latih).

Selama mengembangkan bakat musikku, sebetulnya yang paling berpengaruh adalah pengalaman. Bagiku, setiap konser bersama Cinere Musik adalah blessing yang sangat istimewa, begitu juga dengan setiap penampilan di berbagai acara bersama paduan suara maupun singers (Christmas caroling, Wedding events, Birthday parties, mengisi musik di kafe-kafe, dan sebagainya). Tahun 2011, aku mendapat sponsor untuk belajar biola di Cinere Musik (guruku benama pak Hadi) tanpa meninggalkan kelas keyboard bersama kak Gya. Di tahun yang sama, aku untuk pertama kalinya mengisi musik latar untuk sebuah opera yang berjudul "Opera Primadona" bersama dengan abang sepupuku (Hendrick) sebagai music director dan komunitas Teater Palang Merah sebagai penyelenggara dan pelaku utama pertunjukan. Selain itu, di tahun itu aku juga mulai menjadi pelatih Paduan Suara SMA 6 Depok.

Tahun 2012, aku membawa nama SMA 6 Depok berlaga di ajang Festival Musikalisasi Puisi SMA Se-Jabodetabek dan meraih juara 3 (sebagai pelatih dan pengaransemen untuk tim akustik sekolah). Selain itu, aku juga membawa nama band SMA 6 Depok memenangkan juara 1 kompetisi band SMA se-Jabodetabek di ajang Dwi Warna Festival (sebagai keyboardist dan pengaransemen). Di tahun yang sama, aku memutuskan untuk fokus di kelas biola dan berhenti dari kelas keyboard. Pekerjaanku sejak 2012 di luar sebagai music performer bertambah menjadi pengajar juga. Namun, aku banyak menolak tawaran mengajar di institusi (lembaga kursus musik) karena masih sekolah (waktu sangat tidak fleksibel dan tugas-tugas pun sangat padat), jadi aku hanya berkarya sebagai pengajar privat.

Tahun 2013, aku lulus dari SMA dan melanjutkan kuliah di FISIP Universitas Indonesia. Di tahun pertama, aku dipercaya menjadi bagian dari kontingen band FISIP dalam ajang kompetisi UI Art War 2013 dan menjadi music director untuk Mahasiswa Baru Ilmu Politik dalam ajang Gelar Apresiasi Seni Mahasiswa Baru FISIP UI 2013. Di tahun kedua, aku dipercaya oleh KUKSA FISIP UI menjadi juri lomba akustik se-UI dalam ajang KUKSA FISIP Cup 2014. Pada semester ganjil tahun kedua, aku dipercaya menjadi bagian dari kontingen vocal group  FISIP dalam ajang kompetisi UI Art War 2014 (baru saja berlangsung pada 17 November lalu). Di luar kampus, aku juga baru saja terlibat dalam sebuah konser Closing Concert Q-Film Festival "Love, Etc" bersama kak Bims sebagai music director & composer dan aku sebagai pemain keyboard (bersama Del8pan Orchestra, Del8pan Chorus, Del8pan Singers, The Qhoir, The Nelwans, Bonita, dll). Hingga saat ini, aku masih aktif sebagai pengajar piano, organ, maupun biola dan di kontingen vocal group FISIP kemarin, aku juga masih aktif bersama pelatih kami (kak Mike) berkontribusi mengaransemen lagu yang kami bawakan dalam kompetisi.

Yang jelas, musik bukan lah sebuah 2nd job untukku, sampai kapan pun bahkan tidak layak musik ku kategorikan sebagai job. Musik adalah duniaku, sampai kapan pun tidak akan bisa aku keluar darinya, pun dia keluar dariku. Agar tak hambar jiwaku dalam musik, ku jauhkan musikku dari pasar, sejauh langit dari bumi. Biar kan jiwaku terus menjadi jujur dalam musik, biar hanya dua orang dari milyaran manusia di bumi yang mendengarkan dan menjadi penikmatnya, aku bangga karena mereka telah mendengar kejujuran dan kemurnian seni yang datang dari hati. Musik mengajariku tentang makna dari sebuah inspirasi: Ia dapat datang kapan pun, bagaimana pun, oleh dan untuk siapa pun. Maka, senantiasa lah menjadi inspirasi, membuat inspirasi, dengan cara apa pun, dengan caramu sendiri.

Tulisan ini didedikasikan secara khusus bagi dia yang telah bertanya di akun ask.fm penulis dan bagi siapa saja di dunia ini yang menyukai, mengagumi, mempertanyakan, mempelajari, bahkan cinta mati pada musik. 

"Life has been an art, you have set yourself to music, and your days are your sonnets." -Orcar Wilde

Sunday, March 30, 2014

Kehilangan: Adil Kah?

Ketika kamu tau, ini bukan lagi tentang waktu…. Tapi ketidak adilan.
Entahlah, aku merasa hidup ini sungguh tidak adil.
Misalnya saja, pernahkah kamu bertanya apa rasanya ketika seseorang mengalami musibah kebakaran? Seluruh harta bendanya habis dalam sepuluh menit saja.
Menurutmu, adil kah itu?

B A S E D   O N   T R U E   S T O R Y
“La Cinquantaine”
Waktu itu, aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan memulai hari pertamaku di jenjang pendidikan yang berikutnya…
Putih abu-abu berhamparan di lapangan SMA Revolusi. Pagi ini, siswa-siswi baru telah bergabung dalam barisan. Upacara bendera hari ini adalah yang pertama bagi mereka di tingkat Sekolah Menengah Atas. Tepat setelah upacara berakhir, ruang-ruang kelas mulai terisi gelak tawa dan gerutu, koridor dihiasi lalu lalang manusia, makanan dan minuman di kantin disambar dahaga pasca pidato Kepala Sekolah yang menghabiskan waktu hingga enam puluh menit itu. Gisya segera menduduki bangku terdepan di ruang kelas X.2.
Aku menyadari kehadirannya untuk pertama kalinya…
                Bel sekolah untuk jam pelajaran pertama dimulai telah berbunyi. Namun, riuh di dalam ruang kelas tidak juga mereda. Di tengah kericuhan decitan bangku dan meja kelas serta kegaduhan orasi personal dengan masing-masing kepentingannya, terdengar suara petikan gitar samar-samar oleh telinga Gisya. Suara itu datang dari gitar yang sedang dimainkan oleh seorang laki-laki yang duduk di sudut belakang kelas.
                Anak laki-laki itu memainkan sebuah lagu klasik. Betapa aneh bagi Gisya, dalam suasana yang demikian anarkis, bagaimana mungkin ada orang yang mampu berkonsentrasi memainkan sebuah lagu yang sangat tenang, dengan tingkat kesulitan yang tinggi, dan melakukannya dengan penuh penghayatan. Namanya Fino. Dia baru saja pulang dari studi musik selama dua bulan di Jepang. Dia pendiam, pemalu, dan kurang bersosialisasi. Sangat jauh berbeda dengan Gisya yang periang dan ramah.
Setelah selama dua pekan aku mendengar petikan sayup itu bergaung lembut sekali. Aku mendahagakan pengetahuan yang lebih dari sekedar keindahan nadanya. Lagu yang dimainkan olehnya berjudul La Cinquantaine…
                Gisya mulai sering duduk di belakang untuk mendengar petikan gitar Fino dengan lebih jelas. Sampai beberapa bulan berlalu, Fino pun menyapanya.
“Suka lagu klasik?”
“Gak juga sih, gue malah baru tau lagu klasik ternyata enak didenger setelah denger lo mainin di gitar lo…”
“Oh, pantesan kayaknya lo menikmati banget. Biasanya stigma masyarakat sih lagu klasik tuh susah dan ngebosenin hahaha. Gue gak memungkiri, itu pasti dirasakan oleh sebagian besar orang.”
“Gak tau juga sih ya kalo lagu yang lain, tapi lagu yang lo mainin gue suka banget!”
Aku sadar, aku mulai membiaskan fokus. Aku bukan hanya menyukai lagunya, tetapi dia…
                Gisya kerap menghabiskan waktu menemani Fino berlatih di sebuah sekolah musik di pusat kota. Baginya, Fino bukan hanya sebuah motivasi sekolah atau hiburan di tengah kepenatan menerima materi pelajaran, tetapi juga warna dalam hidupnya yang dia yakin belum pernah dia lihat sebelumnya.
Lagu yang dimainkan olehnya ditulis oleh Jean Gabriel-Marie yang judulnya diambil dari kata dalam Bahasa Prancis, artinya “Hari Ulang Tahun Pernikahan yang ke-50 (The Golden Wedding Anniversary)”…
                Tidak terduga oleh Gisya, tahun keduanya di SMA Revolusi kembali akan dia habiskan bersama petikan gitar Fino di sudut belakang kelas.
                “Setahun gue sekelas sama lo, setahun gue denger lo main lagu yang sama setiap hari, terus gue belom tau juga kenapa lo mainin lagu itu terus…”
                “Bokap gue meninggal di Hari Ulang Tahun pernikahannya sama nyokap yang ke-50. Golden Anniversary gitu deh hehe. Lagu ini tentang 50 tahun pernikahan, Gis.”
                “I’m sorry to hear that, Fin.”
Lagunya bagus. Kata Fino, dia membawakan lagu itu persis seperti suasana yang dibuat penulisnya, bahagia. Dia gak sepaham dengan pendapat bahwa kisah kematian itu berarti sedih…
                Setiap hari yang dilalui oleh Gisya, penuh dengan cerita bersama Fino. Salah satunya, waktu Gisya dan Fino harus melakukan sebuah penelitian tentang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Mereka perlu sekitar dua puluh hari untuk pengumpulan data, karena penelitiannya dilakukan dengan mixed-method (kuantitatif dan kualitatif), sehingga mereka harus banyak berinteraksi dengan ODHA, agar menghasilkan data yang valid dan memiliki reliabilitas yang tinggi.
                Suatu hari, Fino mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah diduga oleh Gisya sebelumnya. Setelah hari itu, segalanya berubah. Bagi gisya, cerita mereka menjadi lebih indah dari sekedar menemani Fino latihan dan mendengar Fino bermain gitar di kelas, meski itu pun sudah merekah rona di wajahnya.
Perlu dua tahun baginya untuk menyadari kehadiranku dan menganggap itu istimewa. Hari setelah dia menyatakannya adalah waktu-waktu paling bahagia dalam hidupku…
                Saling bertatapan satu sama lain adalah hal yang menjadi kesukaan Gisya dan Fino. Gisya merasa hal itu membuatnya mengenal Fino dengan lebih baik, karena mengenal seseorang lewat emosinya jauh lebih berharga dibanding perilakunya. Fino memiliki alasan yang lebih sederhana. Dia merasa menatap Gisya adalah hal paling membahagiakan dan…
                “Kamu punya mata yang bagus banget, aku suka banget. Gak bakalan bosen deh aku natap kamu, bahkan sampe kita udah 50 tahun nikah! Hehehe.”
                “Dasar cowok… Makhluk visual, physical-oriented. Kalo udah seratus tahun, gimana?”
                “Tetep gak bosen dong!”
Aku tau semua tentang dia, tetapi ketika aku ditanya dia itu bagaimana, aku hanya akan menjawab dengan satu kata. Dia baik. Pernyataan ini sangat denotatif, dia betul-betul baik…
                Mereka selalu bertemu di luar sekolah sedikitnya seminggu sekali, yaitu di hari kencan universal, hari Sabtu. Fino membawakan bunga dengan warna berbeda setiap minggunya. Tidak pernah terlambat, tepat pukul tujuh malam, Fino datang menjemput Gisya. Gisya suka sekali mengenakan terusan selutut, dengan pita besar menghiasi pinggangnya. Dia tipe perempuan natural, jarang berdandan. Cukup dengan rambut tersisir rapih dan sedikit pelembab bibir.
                Mereka biasanya duduk-duduk di taman kota menikmati malam berlalu dengan perbincangan ringan, hanya untuk saling mendengar. Mereka sangat senang saling mengetahui lebih dalam dengan mendengar. Mereka jarang bertengkar, karena mereka selalu lebih terdorong untuk mendengar daripada berbicara dan mengeluarkan ego. Mereka sesekali berselisih paham, tapi yang terbaik bagi keduanya dengan cepat muncul, karena mereka mau mendengar.
Suatu malam di hari Sabtu, aku menunggunya menjemputku. Aku telah siap dengan terusan berwarna hitam dan pelembab bibir merah muda. Aku ingat dengan jelas, aku menunggunya. Sampai aku mengantuk, sebab hingga pukul satu dini hari, dia tak kunjung datang…
                Di hari-hari mendekati ujian dan berbagai problematika tahun terakhir mereka sebelum lulus, mereka mulai menggunakan waktu kencannya untuk membeli buku soal dan membahas persiapan ujian. Tetapi, itu tidak membuat mereka bosan, karena mereka sama-sama ingin sukses, dimana motivasi terkuatnya adalah mereka satu sama lain.
                “I want to build my future with you. To build a home with you, Fin.”
                Gisya mengucapkan hal itu berulang-ulang. Fino selalu mengangguk dan memeluknya tepat setelah dia mengatakannya. Selalu begitu. Bagi sebagian orang di luar mereka, tentu keseriusan ini terdengar konyol. Nyatanya, satu tahun terjalinnya hubungan mereka terus membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam menjalani hubungan itu. Hubungan yang bukan lagi didasari kebutuhan, keinginan untuk memiliki, dan kecemburuan. Melainkan, hubungan yang didasari komitmen dan konsistensi dalam membangun masa depan bersama.
Kembali kepada analogi tentang rumah kebakaran. Aku dihantam ketidakadilan yang sama. Seharusnya aku berhak menemuinya malam ini. Setidaknya mendengar ia memainkan lagu itu, di taman…
Dalam segala sesuatu yang mereka jalani, Fino kerap mengatakan, “Expect the least”. Tanpa mereka sadari, mereka tidak mengharapkan apapun dari apa yang mereka jalani, selain kebersamaan itu sendiri. Karena, itu lah entitas kebahagiaan hidup bagi mereka. Mereka tidak pernah mengucapkan satu kata itu, tetapi pasti mereka merasakannya.
Bagi mereka, kata itu terlalu abstrak untuk dikatakan. Esensi dari mengatakannya tidak pernah lebih baik dari menunjukkannya. Saling menghargai satu sama lain, saling mengisi hidup satu sama lain, saling berbagi, saling mempercayai, dan saling memahami. Itu lah nilai yang sekiranya merepresentasikan satu kata yang biasa diucapkan dalam suatu hubungan antara perempuan dan laki-laki. Mereka menumbuhkan perasaannya setiap hari, membuktikannya setiap saat mereka memiliki kesempatan untuk itu.
Mungkin, setelah malam ini, dia akan tinggal di sebuah taman yang lebih indah dari taman manapun yang pernah kita singgahi. Pagi harinya adalah bangun tidur teristimewa dalam hidupku. Aku harus tersenyum dalam duka yang mendalam atas kepergiannya…
                Gisya, dengan bibir gemetar, akhirnya mengucapkan kata itu, yang mereka tidak pernah mengerti ontologinya. Dia bersyukur atas satu kesempatan kecil di momen yang sederhana, saat orang berdatangan dengan warna gelap, Gisya menemukan bahagianya yang sunyi.
                Fino pernah bercerita, bahwa kematian bukan suatu kesedihan, karena bahagia tidak harus tertawa, berteriak, menari, dan berwarna-warni. Bahkan, dalam satu warna dan kesunyian, terdapat kebahagiaan yang penting, yaitu kesadaran akan harga suatu keberadaan di saat ketidakberadaan tiba.
Aku mengenakan gaun hitam itu, masih lengkap dengan perona bibir. Rasanya ingin marah, kali ini aku yang membawakannya bunga. Tepat di atas taburan bunga, aku mengucapkan kata itu. Semua kenangan terulang di kepalaku. Entah apa yang salah, tetapi aku mendengar dengan jelas petikan gitar, memainkan lagu klasik…

“La Ciquantaine”.

Monday, March 24, 2014

TENTANG ADVOKASI MAHASISWA RANTAU

Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 semakin menjadi perbincangan hangat ketika sudah dekat waktunya untuk pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014. Salah satu isu hangatnya bagi kalangan mahasiswa adalah mengenai kesempatan mahasiswa rantau untuk dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Seperti diketahui, mahasiswa rantau yang sudah terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) di daerah asalnya hampir bisa dipastikan tidak dapat menggunakan hak pilihnya disebabkan belum bisa kembali ke kampung halamannya dengan berbagai alasan.

Pada tanggal 04 Maret 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan SE KPU NO. 127/KPU/III/2014 tentang Surat Pindah Memilih. Dijelaskan bahwa Formulir Pindah Memilih (Model A.5) yang sebelumnya harus dikeluarkan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan tempat asal, kini boleh dikeluarkan oleh KPU Kabupaten/Kota domisili sekarang. Hal ini dilakukan atas pertimbangan untuk melayani pemilih, khususnya bagi pemilih yang sedang tugas belajar, tugas kerja, atau pemilih yang pindah domisili di kota lain yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan Formulir Model A.5-KPU dari PPS asal.

Di Universitas Indonesia, pihak Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan KPUD Depok telah bekerjasama untuk mengumpulkan data mahasiswa rantau UI secara kolektif sehingga tidak perlu mengurus pemindahan milihnya secara sendirian dengan diselenggarakannya Posko Advokasi Mahasiswa Rantau. Posko ini akan menjadi tempat bagi mahasiswa rantau untuk menyerahkan fotokopi KTP, fotokopi KTM, dan surat permohonan pindah memilih. Sedangkan untuk urusan ke KPUD Depok, akan diurus oleh BEM UI. Setelah BEM UI menerima Formulir Model A.5-KPU dari KPUD Depok, BEM se-UI akan menyerahkan formulir-formulir tersebut pada mahasiswa bersangkutan untuk diurus ke PPS kelurahan dimana masing-masing tinggal sekarang agar mendapatkan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Berdasarkan wawancara kepada mahasiwa yang sudah mendaftarkan diri untuk melakukan pindah memilih, program ini dinilai baik karena memang sudah seharusnya setiap warga negara diberikan peluang yang seluas-luasnya untuk menggunakan hak suaranya. Di mata mahasiswa rantau yang telah melakukan prosedur dalam program ini, prosesnya tidak memakan waktu, sehingga sangat membantu bagi mahasiswa yang kesibukannya cukup padat. Program ini juga membantu mahasiswa rantau untuk tetap dapat menggunakan hak suaranya. Seperti yang diketahui, sulit bagi mahasiswa rantau untuk kembali ke daerah asal hanya untuk pemilu, terutama terkait finansial akomodasi dan waktu tempuh yang kadang terlalu lama dan dapat mengganggu kuliah. Tidak heran apabila banyak pihak yang mendukung adanya program seperti ini sebagai atribut penyokong kesuksesan pemilu.
          
Meskipun demikian, terdapat pula beberapa pertanyaan seputar nilai yang terkandung di dalam pelaksanaan program tersebut. Pertama, perihal benar tidaknya secara etika politik jika kita memilih caleg yang tidak mewakili daerah asal kita. Menurut Ikhsan Darmawan, selaku dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, hal ini menjadi solusi yang lebih baik ketimbang membiarkan hak suara terbuang karena masalah administratif, dimana sangat kecil kemungkinannya bagi mahasiswa rantau mau pulang ke daerah asal hanya untuk pemilu. Program ini mungkin berbenturan dengan bagaimana memilih caleg yang tidak dikenal oleh mahasiswa rantau. Namun, mahasiswa dapat memilih partai saja, apabila memang tidak berkenan memberikan suaranya untuk caleg dapil domisili yang tidak ia kenal, yang terpenting adalah program ini telah menjawab permasalahan administratif mahasiswa rantau yang sangat krusial dalam keberlangsungan pemilu.
          
Heru, dari Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) Universitas Indonesia, menjelaskan mengenai rasionalisasinya adalah bahwa sebenarnya peserta pemilu itu sendiri adalah partai politik. Sehingga, walaupun kita tidak mengetahui caleg mana yang seharusnya dipilih, setidaknya kita mengetahui partai politik peserta pemilu dan mencoblos lambang partainya. Suara yang kita berikan akhirnya masuk ke dalam partai dan membantu partai tersebut untuk melewati ambang batas 3,5% parliamentary threshold dan 20% presidential threshold. Termasuk halnya bagi pemilih yang mencoblos lebih dari satu nama caleg dalam 1 parpol, tetap dinyatakan sah. Suara dihitung untuk parpol. Peraturan tersebut dimuat dalam PKPU Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS dalam Pemilu Legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
          
Sriyono, selaku anggota Panwaslu Depok Divisi Pengawasan, menjelaskan pula bahwa tugas Panwaslu adalah untuk mengawal dan memantau kebijakan yang dikeluarkan KPU apakah sudah dilakukan dengan baik oleh para peserta pemilu dan pihak terkait. Dirinya menegaskan bahwa keputusan KPU mengenai pindah memilih ini tidak ada yang salah secara prosedural karena tidak melanggar peraturan. Ia menambahkan, di dalam proses pemilu ini akan terjadi banyak dinamika dan tidak menutup kemungkinan adanya banyak perubahan kebijakan yang terjadi. Semua itu dilakukan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan semua warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Ia juga tidak memungkiri adanya konsekuensi dari memilih di daerah domisili sekarang, yaitu mahasiswa rantau akan memilih caleg yang bukan berasal dari daerah yang sama dengan daerah asalnya. Namun, menurutnya yang terpenting adalah KPU dan pihak-pihak terkait sudah memfasilitasi para pemilih rantau untuk dapat menggunakan hak pilihnya terlepas daripada apakah pemilih tersebut mau memilih atau tidak.
          
Kemudian, muncul pertanyaan mengenai status de jure program ini terkait PPS mana yang mengeluarkan formulir untuk mahasiswa rantau. Menurut Nana Sobarna, selaku Komisioner KPUD Kota Depok, Formulir Model A.5-KPU yang sebelumnya harus dikeluarkan oleh PPS asal, kini dapat dikeluarkan oleh KPUD Kota/Kabupaten, dan KPUD Kota/Kabupaten lah yang akan menghubungi PPS asal untuk menghapus data mahasiswa rantau dari daerah asalnya untuk menghindari data ganda. Ikhsan Darmawan menambahkan, secara konsep, tidak ada salahnya melakukan upaya-upaya solutif, dimana terkait mahasiswa rantau memang selalu menjadi masalah di setiap pemilu. Pertimbangannya adalah bagaimana KPU harus senantiasa mampu memfasilitasi jalannya Pemilu dengan sebaik-baiknya.
         
Penjelasan-penjelasan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan pelaksanaan Posko Advokasi Mahasiswa Rantau. Perlu ditegaskan bahwa keberadaan posko tersebut dimaksudkan untuk memfasilitasi mahasiswa rantau yang hendak menggunakan hak suaranya di domisili sekarang dan tidak ada unsur paksaan dalam proses pemindahan dapil ini. Harapannya, semoga tidak ada suara yang terbuang sia-sia di daerah asal dan hak suara yang dimiliki bisa dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Thursday, February 6, 2014

JELANG PEMILU 2014: Perlukah Kita Memilih?

Indonesia kerap memperkenalkan dirinya sebagai negara demokratis. Kata demokratis sendiri berarti bersifat demokrasi, yaitu bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantaraan wakilnya atau sederhananya, pemerintahan oleh rakyat. Maka, dalam jalannya pemerintahan yang demokratis ini, terdapat dua pihak yang harus terintegrasi dengan baik dan bersifat kooperatif dalam sistem, yaitu pemerintah dan rakyatnya. Dari hal ini, segala sesuatu terkait kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (wakil rakyat) harus merupakan perwujudan aspirasi rakyat yang merepresentasikan kepentingan kolektif. Mengacu kepada konsep ini, partisipasi rakyat yang diperlukan dalam jalannya pemerintahan tentu sangat besar. Salah satunya adalah ketika berlangsungnya pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan presiden dan wakil presiden, maupun pemilihan legislatif.

Kesepahaman terhadap konsep negara demokratis ini tampaknya perlu disuarakan. Kerap kali anggota masyarakat berpikir, "Saya kan hanya satu orang di tengah 250 juta warga negara ini, pengaruh apa sih suara saya dalam pemilu?", mungkin hal ini dapat dibenarkan kalau memang hanya dia seorang yang berpikir demikian. Namun, apa faktanya? Sejak pemilu langsung perdana, pada tahun 2004 lalu, telah terdapat sejumlah besar golong masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Dari 153.357.307 Daftar Pemilih Tetap, terdapat 23,34% atau 35.793.595 orang yang tidak memilih. Kemudian, pada pemilu langsung berikutnya, tahun 2009, presentasenya naik. Yaitu, dari 172.359.420 Daftar Pemilih Tetap, terdapat 39,99% atau 68.926.532 orang yang tidak memilih. Hal ini membuktikan, betapa besar pengaruhnya keputusan seorang anggota masyarakat untuk turut memilih atau tidak dalam pemilu.

Fakta yang cukup mencengangkan, selain jumlah golput yang fantastis adalah bahwa jumlah suara yang tidak memilih melebihi jumlah suara perolehan partai pemenang (pemilu legislatif). Pada tahun 2009, Partai Demokrat hanya memperoleh suara sebanyak 20,85% atau 35.936.939 orang, dimana selisihnya dengan yang tidak memilih sebanyak 32.989.593 orang. Maka, muncul pertanyaan baru. Apakah pemerintahan ini adalah pilihan rakyat? Lalu, apakah betul ini adalah 'pemerintahan oleh rakyat'? Jelas hal ini dapat terjawab dengan fenomena ketidakstabilan politik di negara ini yang tampak dari permasalahan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat cenderung apatis dalam mengawasi jalannya pemerintahan, karena merasa wakil mereka yang berwenang memberikan definisi situasi dan kepastian hukum dalam negara ini tidak ada bedanya dengan orang asing. Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan intinya. Masyarakat perlu lebih berpartisipasi politis, dari hal yang paling sederhana, tetapi berpengaruh cukup signifikan, yaitu menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa peran pengawasan sebagai bentuk keberlanjutan dalam berpartisipasi politis juga sangatlah penting. Pengorbanan yang sebenarnya demi kepentingan bersama bukanlah pada lima menit yang kita pergunakan di TPS (Tempat Pemungutan Suara), tetapi pada lima tahun setelahnya, dimana kita sebagai yang telah memilih mereka untuk menjadi wakil kita (dalam pemerintahan), berhak penuh mengawasi segala unsur kinerja pemerintah. Ketika masyarakat berpikir dua kali atau tiga kali lagi untuk berpartisipasi dalam negara demokratis ini, pikirkanlah: Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial warga negara di suatu negara seutuhnya dipengaruhi oleh setiap keputusan pemerintah (dalam hal ini, sebagai wakil mereka).

Sebuah Perspektif

DEPARTEMEN KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS (KASTRAT)
BEM FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
Di Mata Mahasiswa dan Dosen

Narasumber:    Togi Prakoso (Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014)
                        Ikhsan Darmawan, M.Si (Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Paralel, Dosen)

TOGI  “Kastrat perlu mencari cara unik dalam bergerak!”
Dalam wawancara singkat dengan sang ketua HMIK ini, beliau menyampaikan beberapa hal seputar Kastrat. Yang pertama, beliau membandingkan kinerja Kastrat  2013 dengan yang sebelumnya (2012). Menurut pendapatnya, kinerja Kastrat di tahun 2012 lebih terlihat, dengan pergerakan yang lebih aktif dan reaktif terhadap isu yang berkembang di tengah masyarakat. Mungkin, hal ini  disebabkan oleh lebih banyaknya isu yang muncul di tahun itu disbanding di tahun setelahnya (2013). Program kerja Kastrat tahun 2013 yang beliau ketahui hanya SKS dan YES, itupun menurut pendapatnya kurang berhasil. Saran untuk Kastrat ke depannya, diharapkan ditemukan cara yang unik dalam rangka melakukan gerakan mahasiswa. Gerakan konvensional dinilai sudah tidak jamannya lagi. Menurut pandangannya, di jaman sekarang ini, betapa sulitnya mengajak mahasiswa ramai-ramai berkumpul untuk mebahas suatu isu, terutama karena penghargaan terhadap waktu semakin tinggi, sedangkan mobilitas di kota yang padat ini sangat menyita waktu. Maka, beliau menyarankan untuk Kastrat mencoba merambah ke bentuk media-campaign melalui jejaring sosial. Kalau sudah mendapat respon dari banyak pihak di jejaring sosial, baru lah melakukan aksi riilnya.

IKHSAN  “Saya dukung kembalinya kultur sospol dalam FISIP, coba kolaborasi!”
Berbincang tentang Kastrat dengan dosen pemerhati gerakan mahasiswa ini tentu menghasilkan kritik dan saran yang sangat membangun. Sejalan dengan perspektif Togi, beliau mengatakan bahwa Kastrat masih kurang terlihat pergerakannya, terutama yang melibatkan orang banyak. Kalau untuk kegiatan rutin internal FISIP, seperti seminar atau diskusi ilmiah, dilihatnya telah berjalan cukup baik. Tetapi, untuk kegiatan yang terbilang besar dan berkala (dalam jangka waktu tertentu berdasarkan momentumnya), menurut pendapatnya belakangan ini agak kurang terlihat. Terutama terkait isu yang krusial, misalnya advokasi kebijakan, tidak begitu terdengar. Kecenderungannya dari tahun ke tahun, gerakan mahasiswa yang seharusnya dimotori oleh Kastrat ini terus turun. Beliau menyampaikan bahwa bentuk aksinya tidak selalu harus demo, kecuali ketika cara itu memang diperlukan. Misalnya, ketika isu-isu yang berkembang menyangkut hajat hidup orang banyak dan perlu dikritisi secara keras, maka harus disikapi atau direspon dengan aksi oleh mahasiswa. Beliau sangat menyayangkan mahasiswa jaman sekarang yang cenderung pasif dalam mengkritisi kebijakan secara langsung. Beliau berpendapat bahwa proses penyampaian hasil pengolahan pemberitaan terkait kebijakan atau Undang-Undang tertantu kepada pihak pembuatnya (dalam hal ini, pemerintah) sangat penting dilakukan oleh mahasiswa, yang sudah seharusnya dimotori oleh Kastrat. Hal tersebut juga merupakan pembeda (dalam lingkup organisasi) Departemen Kastrat dengan Departemen/Biro/Divisi lainnya. Kastrat memang mengemban tugas untuk melakukan aksi langsung, seperti demo, bukan hanya berbentuk seminar dan diskusi ilmiah yang memungkinkan adanya tumpang-tindih fungsi antara kastrat dengan keilmuan.
Terkait isu pemilu yang menjadi fokus Kastrat di tahun 2014 ini, beliau memberikan pesan agar sebaiknya Kastrat mempersiapkan betul target masyarakat yang diprioritaskan, yaitu sebaiknya pemilih pemula (17-21 tahun). Kemudian, karena konsep ini banyak dijadikan landasan gerakan dari berbagai pihak (atau lembaga), sebaiknya Kastrat mengkaji lebih jauh pihak mana saja yang melakukan gerakan sejenis, sehingga dapat meninjau daerah operasi  yang berbeda dengan pihak lain tersebut. Selain itu, pengenalan capres dan cawapres juga perlu diperhatikan. Guna menghindari tendesius, sebaiknya seluruh figur yang diperkenalkan disampaikan dari kedua sisi, yaitu positif dan negatifnya, serta harus berbasis data yang valid. Fenomena yang direspon adalah masyarakat pada umumnya hanya mengenal figur-figur tersebut dari media massa, dimana mereka sendiri yang mengkampanyekan diri, sehingga banyak hal yang tersembunyi. Hal inilah yang seharusnya dibawa oleh Kastrat dalam gerakannya agar masyarakat betul-betul menyerap informasi terkait calon wakilnya secara maksimal.
Yang terakhir, menanggapi tekad Kastrat memulangkan kultur sosial politik ke dalam kultur warga FISIP, beliau sangat mendukung dan menyarankan adanya kolaborasi Kastrat dengan Senbud (Seni Budaya) atau Depor (Departemen Olahraga) untuk memulai pembangunan karakteristik FISIP yang penuh dengan nuansa sosial-politiknya. Karena, memang Kastrat perlu menarik minat warganya dulu dengan hal-hal yang memang disukai oleh mereka (Seni dan Olahraga). Menurut pandangannya, acara tidak harus selalu diselenggarakan terpisah-pisah. Acara seni, isinya seni saja, kemudian diskusi ilmiah, dari pagi hingga sore hari, isinya hanya hal-hal yang ilmiah saja. Tentu akan sangat kurang diminati mahasiswa, karena terkesan membosankan. Sarannya, Kastrat harus berani mencoba variasi baru sebagai langkah awal merealisasikan visi ini. Beliau mengatakan, “Saya sangat senang mahasiswa sudah mulai punya kesadaran untuk mengembalikan isu sosial-politik sebagai karakteristik utama fakultas ini”.